Berita Utama
Deputi KLNP Cetuskan Teori ABG, Dalam Padu Padan Supply dan Demand Calon PMI
11.03
30 March 2019
1922

Yogyakarta, BNP2TKI (29/03/19) – Deputi Kerjasama Luar Negeri dan Promosi, Elia Rosalina mengungkapkan, idealnya dunia pendidikan menghasilkan tenaga kerja yang bisa langsung terserap oleh pasar kerja (demand supply matching). Namun kondisi yang ada saat ini belum seperti itu.
“Kita tahu bahwa saat ini masih terdapat gap antara supply dan demand. Jika pekerja migran Indonesia tetap berangkat bekerja ke luar negeri dengan kondisi adanya gap seperti itu, maka dipastikan akan mengalami kerugian.” tegas Elia Rosalina.
“Kerugian utama adalah down grading, misalnya, yang seharusnya menjadi nurse akan dipekerjakan menjadi asisten nurse, dimana gaji, hak dan lain-lain yang diterima tidak sesuai dengan seharusnya.”
Hal itu diungkapkan Elia Rosalina saat menjadi pembicara sekaligus membuka acara Kerjasama dengan stakeholders dalam rangka melakukan padu padan antara supply dan demand, yang diselenggarakan oleh Direktorat Pemetaan dan Harmonisasi TKLN II, Kedeputian Bidang KLN dan Promosi, di Hotel Harper Mangkubumi, Yogyakarta, 29 s.d 30 Maret 2019.
Disebutkan Elia Rosalina, bahwa gap utama adalah kemampuan bahasa inggris, yakni bahasa inggris dalam pelaksanaan pekerjaan tugas keseharian, dan bahasa negara tujuan penempatan. Selain itu, gap atau tantangan lainnya adalah softskill, sertifikasi yang diterima di negara tujuan, skill yang matching, nomenklatur jabatan dengan negara penempatan, dan pengetahuan budaya negara penempatan, sehingga perlu adanya harmonisasi.
Oleh karena itu, ada teori ABG (Academics, Business and Government) yang saling bersinergi dan berperan dalam padu padan supply dan demand.
“Academics (Akademisi) adalah dunia pendidikan/institusi pendidikan baik perguruan tinggi, lembaga diklat, pelatihan, LKP, LPK, CDC, dan lain-lain. Business (Bisnis) adalah dunia kerja termasuk end user/pengguna. Government (Pemerintah) yakni Kementerian dan Lembaga terkait. Ketiganya perlu duduk bersama dalam mengharmonisasikan antara demand dan supply sehingga irisan di tengah adalah kandidat yang matching sesuai dengan demand, sehingga produk dari dunia akademisi bisa diserap kedalam dunia bisnis (dunia kerja). Jangan sampai dunia pendidikan menghasilkan tenaga yang tidak dapat diserap dalam dunia bisnis (link, train and match).” terangnya.
Pada saat ini, demand kerja ke luar negeri dengan berbagai macam skema penempatan sangat banyak, baik di negara Timur Tengah, Asia Pasifik dan Afrika serta Eropa. Setiap demand memiliki kualifikasi yang harus dipenuhi oleh Calon PMI dan berbeda-beda untuk tiap negara tujuan penempatan, papar Elia Rosalina.
Sejumlah narasumber dalam kegiatan tersebut, yakni Diono Susilo dari BPPSDM Kementerian Kesehatan dan Danan Axioma dari Kedeputian Pengembangan Industri dan Kelembagaan Kementerian Pariwisata. Turut hadir Direktur Kerjasama Luar Negeri, Freddy Panggabean dan Kepala Biro Perencanaan dan Administrasi Kerjasama, Heni Hamidah, serta dari BP3TKI Yogyakarta.
“Harapan dari kegiatan ini, adalah untuk menghasilkan keputusan bersama dalam merumuskan strategi ketersediaan supply yang matching dengan demand.” tutup Elia Rosalina.***(Humas/DH).
“Kita tahu bahwa saat ini masih terdapat gap antara supply dan demand. Jika pekerja migran Indonesia tetap berangkat bekerja ke luar negeri dengan kondisi adanya gap seperti itu, maka dipastikan akan mengalami kerugian.” tegas Elia Rosalina.
“Kerugian utama adalah down grading, misalnya, yang seharusnya menjadi nurse akan dipekerjakan menjadi asisten nurse, dimana gaji, hak dan lain-lain yang diterima tidak sesuai dengan seharusnya.”
Hal itu diungkapkan Elia Rosalina saat menjadi pembicara sekaligus membuka acara Kerjasama dengan stakeholders dalam rangka melakukan padu padan antara supply dan demand, yang diselenggarakan oleh Direktorat Pemetaan dan Harmonisasi TKLN II, Kedeputian Bidang KLN dan Promosi, di Hotel Harper Mangkubumi, Yogyakarta, 29 s.d 30 Maret 2019.
Disebutkan Elia Rosalina, bahwa gap utama adalah kemampuan bahasa inggris, yakni bahasa inggris dalam pelaksanaan pekerjaan tugas keseharian, dan bahasa negara tujuan penempatan. Selain itu, gap atau tantangan lainnya adalah softskill, sertifikasi yang diterima di negara tujuan, skill yang matching, nomenklatur jabatan dengan negara penempatan, dan pengetahuan budaya negara penempatan, sehingga perlu adanya harmonisasi.
Oleh karena itu, ada teori ABG (Academics, Business and Government) yang saling bersinergi dan berperan dalam padu padan supply dan demand.
“Academics (Akademisi) adalah dunia pendidikan/institusi pendidikan baik perguruan tinggi, lembaga diklat, pelatihan, LKP, LPK, CDC, dan lain-lain. Business (Bisnis) adalah dunia kerja termasuk end user/pengguna. Government (Pemerintah) yakni Kementerian dan Lembaga terkait. Ketiganya perlu duduk bersama dalam mengharmonisasikan antara demand dan supply sehingga irisan di tengah adalah kandidat yang matching sesuai dengan demand, sehingga produk dari dunia akademisi bisa diserap kedalam dunia bisnis (dunia kerja). Jangan sampai dunia pendidikan menghasilkan tenaga yang tidak dapat diserap dalam dunia bisnis (link, train and match).” terangnya.
Pada saat ini, demand kerja ke luar negeri dengan berbagai macam skema penempatan sangat banyak, baik di negara Timur Tengah, Asia Pasifik dan Afrika serta Eropa. Setiap demand memiliki kualifikasi yang harus dipenuhi oleh Calon PMI dan berbeda-beda untuk tiap negara tujuan penempatan, papar Elia Rosalina.
Sejumlah narasumber dalam kegiatan tersebut, yakni Diono Susilo dari BPPSDM Kementerian Kesehatan dan Danan Axioma dari Kedeputian Pengembangan Industri dan Kelembagaan Kementerian Pariwisata. Turut hadir Direktur Kerjasama Luar Negeri, Freddy Panggabean dan Kepala Biro Perencanaan dan Administrasi Kerjasama, Heni Hamidah, serta dari BP3TKI Yogyakarta.
“Harapan dari kegiatan ini, adalah untuk menghasilkan keputusan bersama dalam merumuskan strategi ketersediaan supply yang matching dengan demand.” tutup Elia Rosalina.***(Humas/DH).