Tinjau Dasar Hukum Pelindungan PMI, BP2MI Gelar Kajian UU No. 18 Tahun 2017
-

Tinjau Dasar Hukum Pelindungan PMI, BP2MI Gelar Kajian UU No. 18 Tahun 2017
Jakarta, BP2MI (12/4) – Sebagai salah satu bentuk upaya peninjauan dasar hukum pelindungan Pekerja Migran Indoensia (PMI), Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) menggelar kegiatan bertajuk Kajian Undang-undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia di JS Luwansa Hotel Jakarta, Rabu (12/4/2023).
Pada Undang-undang Nomor 18 Tahun 2017, peran pelindungan PMI diserahkan kepada pemerintah, baik pusat maupun daerah, mulai dari sebelum, selama, dan setelah bekerja. Di dalam Undang-undang ini pun tercantum upaya pelindungan menyeluruh kepada PMI, yakni pelindungan hukum, sosial, dan ekonomi.
Kepala BP2MI Benny Rhamdani menyampaikan, salah satu bentuk pelindungan hukum yang diberikan kepada PMI diatur dalam Pasal 31 yang digunakan sebagai instrumen utama dalam penempatan dan pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
Pada Pasal 31, yang juga ditegaskan kembali dalam Pasal 25 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 59 Tahun 2021, disebutkan bahwa PMI hanya dapat bekerja ke negara tujuan penempatan yang mempunyai peraturan perundang-undangan yang melindungi tenaga kerja asing, telah memiliki perjanjian tertulis antara pemerintah negara tujuan penempatan dan Pemerintah Republik Indonesia, dan/atau memiliki sistem Jaminan Sosial dan/atau asuransi yang melindungi pekerja asing.
“Salah satu implikasi penggunaan kata hubung dan/atau yang bersifat kumulatif dan alternatif dalam Pasal 31 tersebut dapat diartikan bahwa instrumen yang diperlukan bisa satu instrumen, dua instrumen, dan tiga instrumen,” jelas Benny.
Benny mengatakan, dalam Pasal 3 ayat (1) PP Nomor 10 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penempatan Pekerja Migran Indonesia oleh BP2MI dan Pasal 5 ayat (1) PP Nomor 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran menyatakan bahwa penempatan PMI oleh BP2MI dilakukan atas dasar perjanjian secara tertulis antara pemerintah dengan pemerintah negara pemberi kerja atau pemberi kerja berbadan hukum di negara penempatan.
Sehingga, sambung Benny, perjanjian tertulis menjadi syarat wajib dalam penempatan PMI melalui skema Government to Government (G to G) dan Private to Private (P to P).
Hadir pula dalam kegiatan ini Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia yang diwakili oleh Direktur Perancangan Peraturan Perundang-undangan, Cahyani Suryandari; dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Bidang Studi Hukum Tata Negara, Satya Arinanto.*(Humas/CLN/MSA)