Kementerian P2MI dan LPSK Sepakat Kolaborasi untuk Perkuat Pelindungan Pekerja Migran
-
Jakarta, KemenP2MI (23/1) – Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KemenP2MI) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sepakat berkolaborasi untuk memperkuat pelindungan Pekerja Migran Indonesia, khususnya dalam konteks penempatan ilegal.
Kata Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, Abdul Kadir Karding, saat ini kementerian akan gencar melakukan pencegahan penempatan non prosedural sekaligus menangani deportasi dan pemulangan.
“Kita harus berani mengungkap apa adanya dan mungkin butuh kerja sama intensif dengan LPSK," ucap Menteri Karding dalam pertemuan dengan pimpinan LPSK di Ruang Rapat Adelina Sau, Kantor Kementerian P2MI, Jakarta pada Kamis (23/1/2024).
Penempatan non prosedural, lanjut Menteri Karding, menjadi pusaran masalah yang kerapkali menimpa Pekerja Migran Indonesia.
“Banyak ketidakadilan dan perlakuan eksploitatif terjadi karena ini. 90 persen yang bermasalah adalah mereka yang berangkat secara unprosedural," paparnya.
Menteri Karding menambahkan Pekerja Migran Indonesia menjadi perhatian serius dari Presiden Prabowo Subianto. Apalagi target penempatan pekerja migran dari kementerian ini sebanyak 425 ribu.
“Pada rapat kemarin, beliau masih bicara soal itu, selama ini devisa dari PMI besar, tapi tidak mendapatkan pelayanan pelindungan yang maksimum”, imbuhnya.
"PMI jangan seolah digunakan sebagai pengepul devisa. Dalam kontek penegakan hukum untuk pelindungan kami membutuhkan kolaborasi dengan kepolisian dan pihak lain. Kami butuh support juga dari LPSK," katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua LPSK, Brigjen. Pol (Purn) Dr. Achmadi, menjelaskan terdapat irisan yang kuat antara KP2MI dan LPSK. “Yang terpenting adalah mencari akar masalah, siapa mastermind-nya. Dari sisi kasus yang ditangani, kita baru menyentuh pelaku lapangan. Belum pada pelaku yang besar”, ujarnya.
Sementara itu, Wakil Ketua LPSK, Wawan Fahrudin, menerangkan dari 10.217 laporan yang diterima LPSK, 594 di antaranya berasal dari korban TPPO.
“Korban bisa kita lakukan penanganan untuk memenuhi hak-haknyanya termasuk restitusi. Ini bisa jadi alat untuk memberikan efek jera para pelaku”, lanjut Wawan.
Selain perlindungan psikologis dan hukum, ia melanjutkan, ada pelindungan psikososial yang sangat penting karena berkaitan dengan keberlangsungan hidupnya, termasuk keluarga korban.
“Kalau di kami rehabilitasi dan reintegrasi. Silahkan nanti kita hubungkan termasuk usulan untuk memanfaatkan kantor-kantor di daerah. Tim kita juga harus dilatih untuk menangani saksi dan korban”, pungkas Menteri Karding.*